Pembebasan Lahan Bukit Pelangi Senilai Rp18,8 Miliar Dinilai Kurang Wajar
SANGATTA, KALPOSTONLINE | Meski komplek perkantoran Bukit Pelangi di Sangatta Kutai Timur (Kutim) telah ditempati, namun persoalan lahannya tidak kunjung rampung. Hingga kini sejumlah ahli waris yang mengaku sebagai pemilik lahan tersebut menuntut hak mereka yang belum dibayarkan. Siapa yang bertanggungjawab atas dana sebesar Rp18,8 miliar?
Seperti diketahui, bahwa pada tahun anggaran 2011, 2012 dan 2013, Pemkab Kutim merealisasikan belanja pembebasan lahan Komplek Bukit Pelangi senilai Rp27,144 miliar, masing masing pada tahun 2011 sebesar Rp3,285 miliar, tahun 2012 sebesar Rp7,9 miliar dan tahun 2013 sebesar Rp15,959 miliar.
Pembebasan lahan dimulai dengan SK Bupati No.640/K.516/HK/VIII/2011 tentang penetapan lokasi keperluan rencanakawasan pemerintahan/perkantoran Bukit Pelangi (tahap II) Pemerintah Kabupaten Kutai Timur tanggal 3 Agustus 2011 seluas 34,1 Hektar. Untuk menindaklanjuti Surat Keputusan Bupati tersebut, Panitia Pembebasan Lahan kemudian melakukan negosiasi atas lahan di komplek bukit pelangi.
Hasil analisa atas dokumen yang diterima oleh auditor BPK dari Dinas Pengendalian Lahan dan Tata Ruang (PLTR) Kutim dan dokumen dari KPP Bontang terkait NJOP diketahui, harga pembebasan lahan untuk Komplek Bukit Pelangi lebih tinggi daripada NJOP.
Selanjutnya dari hasil analisa atas dokumen NJOP yang diperoleh dari KPP Bontang diketahui NJOP untuk tahun 2011 pada lokasi Bukit Pelangi terendah adalah sebesar Rp64 ribu dan tertinggi sebesar Rp128 ribu per m². Dengan demikian rata rata NJOP untuk wilayah Bukit Pelangi adalah sebesar Rp96 ribu per m².
Auditor BPK RI saat pemeriksaan mengaku telah berusaha melakukan konfirmasi kepada pemilik lahan untuk mendapatkan harga pasar atas lahan namun terkendala dengan informasi keberadaan pemilik lahan. Kemudian berdasarkan atas dokumen pembebasan lahan atas bukit pelangi diketahui nilai pembebasan lahan lebih tinggi dari nilai rata-rata NJOP. Hasil analisa dokumen pembayaran dan konfirmasi kepada Panitia pembebasan lahan diketahui bahwa proses pembayaran atas lahan untuk Komplek Bukit Pelangi sampai dengan pertengahan Tahun 2013 dilakukan dengan mekanisme Tambahan Uang Persediaan dengan pertimbangan jika menggunakan mekanisme LS warga masyarakat pemilik lahan tidak mau menyerahkan dokumen kepemilikan sebelum ada pembayaran sementara jika pembayaran menggunakan mekanisme LS maka diperlukan dokumen pendukung untuk pembayaran dengan LS antara lain berupa kuitansi pembayaran dan
bukti kepemilikan lahan.
Dengan mekanisme tambahan uang persediaan maka jika ada permohonan pencairan dana pembebasan lahan oleh PPTK, dana pembebasan lahan dicairkan lebih dulu ke rekening bendahara pengeluaran. Dana dari rekening bendahara pengeluaran tersebut kemudian akan dikeluarkan untuk disampaikan kepada PPTK jika akan ada pembayaran pembebasan lahan. Dengan demikian dana yang relatif besar untuk pembebasan lahan tersebut akan berada dalam kekuasaan PPTK.
“Kondisi tersebut mengakibatkan nilai ganti rugi pembebasan tanah berindikasi tidak wajar sebesar Rp18,825 miliar,” ungkap auditor BPK RI dalam laporannya pada Agustus 2015.
Atas permasalahan tersebut Pemkab Kutai Timur melalui Dinas PLTR menjelaskan, panitia pengadaan tanah dalam melakukan penetapan nilai ganti lahan telah melakukan musyawarah mufakat dengan para pemilik lahan dan disepakati nilai ganti rugi lahan yaitu untuk lahan produktif sebesar Rp64.300 dan untuk lahan non produktif sebesar Rp30 ribu. Adapun PPTK selaku pelaksana hanya menindak lanjuti hasil dari musyawarah mufakat antara Panitia Pengadaan Tanah dengan Masyarakat Pemilik Lahan, dan tidak mengetahui masalah ketidak wajaran nilai ganti rugi yang ditetapkan sebagaimana yang disebutkan oleh pihak BPK.
“BPK tidak sependapat dengan penjelasan Pemkab Kutai Timur bahwa BPK
melakukan perbandingan harga sesuai dengan pernyataan tim penilai harga tanah mengenai metode perhitungan nilai lahan yang dijadikan acuan dalam pelaksanaan negosiasi harga,” jelas auditor.
Dengan begitu, BPK RI menginstruksikan kepada panitia pembebasan lahan dan Tim Penilai Harga Lahan untuk mempertanggungjawabkan ketidakwajaran harga ganti rugi lahan sebesar Rp18,825 miliar sesuai ketentuan yang berlaku.
“Jika tidak dapat mempertanggungjawabkannya agar disetor ke Kas Daerah,” tegas auditor.
Pekan kemarin, Rabu (11/12/2019) sore, ahli waris yang mengaku pemilik lahan menuntut haknya terkait pembayaran lahan seluas 11 hektar di perkantoran Bukit Pelangi. Dalam pertemuan rapat yang dipimpin Wabup Kutim, H Kasmidi Bulang ST MM dan dihadiri Kasat Bimas AKP Rina, Kasat Intel AKP Urdianta Asta Praja, Kepala PLTR Poniso Suryo Renggono di ruang kerja Wakil Bupati, ahli waris yang menuntut hak yakni Muksin dan beberapa orang lainnya pemilik lahan mengklaim lahan tersebut belum ada pembayaran dari pemerintah sejak tahun 2000 lalu. (OY)