21 IUP Palsu, Ada Apa Gubernur?

SAMARINDA, KALPOSTONLINE | Kasus 1 IUP palsu terus bergulir di ranah pansus Investigasi Pertambangan DPRD Kaltim, Kepolisian Daerah (Polda) juga terus melakukan pendalaman kasus tersebut. Sejumlah praktisi hukum pun menyorot gubernur Isran Noor dalam menyikapi dugaan pemalsuan tanda tangan di surat pengantar dan Ijin Usaha Pertambangan (IUP) karena mengaku tanda tanganya dipalsukan.
“Gubernur mengklaim tidak menandatangani surat itu, kalau yang punya tanda tangan saja merasa tidak menandatangani, terus dari nomor surat dan register juga tidak terdaftar, kuat dugaan palsu. Kalau dugaan palsu yang sangat dirugikan gubernur selaku pejabat maupun pribadi. Seharusnya dia kooperatif melaporkan tindak pidana itu ke kepolisian,” kata Dudin Waluyo Asmoro Santo SH MH Ketua LPBH Ksatria Pancasila Kalimantan Timur di ruang media Center DPRD Kaltim, Senin (1/8/2022).
Menurut dia, masyarakat dapat saja melaporkan kasus dugaan pemalsuan surat gubernur dan 21 IUP itu. Namun, ketika proses hukum berjalan, maka gubernur akan tetap menjadi pihak yang dimintai keterangan oleh penyidik.
“Ketika dia (gubernur) tidak segera mengambil tindakan, ada apa? Supaya tidak mengembang dan merugikan citra, gubernur harus segera mengambil tindakan itu. Walaupun ini bukan delik aduan. Artinya masyarakat Kaltim dirugikan imbas surat palsu itu bisa melaporkan, tetapi kalau masyarakat melaporkan, yang berkompeten tetap harus dimintai keterangan, harus dipanggil. Specimen yang dicek ke laboritrium forensik juga tanda tangan gubernur, daripada berharap masyarakat, DPMTSP atau lembaga manapun yang paling efektif dan efesien memang harus segera gubernur membuat laporan agar opini masyarakat tidak berkembang kemana mana, itu bagus untuk menjaga citra gubernur,” jelasnya.
Praktisi hukum dari LPBH Ksatria Pancasila ini tetap mendorong kasus ini dibawa ke ranah hukum oleh gubernur maupun kuasa hukumnya.
“Supaya tidak menjadi bola liar, dia (gubernur) harus segera laporkan ke polisi. Misalkan dia sibuk ya laporan melalui kuasa hukumnya dulu. Tapi kan nanti tetap ya namanya pidana ini kan kuasa hukum hanya bersifat sebagai pendamping. pasti nanti tetap dimintai keterangan yang punya tanda tangannya dipalsukan,” katanya.
Praktisi hukum lainya yang juga seorang dosen di universitas di Samarinda menilai, laporan inspektorat saja tidak cukup untuk menemukan mafia pemalsuan IUP itu.
“Laporan Inspektorat ke Polda itu lebih pada proses administrasi IUP yang diterbitkan dan itu belum cukup. Dalam IUP dan surat pengantar ada tanda tangan gubernur. Maka legal standing ada pada Pak Isran Noor untuk melapor ke polisi jika merasa tidak melakukan itu. Kalau Pak Gubernur tidak melaporkan pemalsuan tanda tangannya, maka publik bertanya-tanya, ada apa ini?” tutur DR Jaidun SH MH dosen Fakultas Hukum Widyagama Mahakam Samarinda.
Persoalan 21 IUP palsu menurutnya bukan masalah politik, meskipun DPRD Kalimantan Timur membentuk Pansus Investigasi Pertambangan DPRD Kaltim. Pemalsuan IUP adalah peristiwa pidana yang dilakukan seseorang atau berkelompok untuk mengeruk keuntungan dengan cara melanggar konstitusi. Dalam pemalsuan itu ternyata ada nama dan tanda tangan kepala daerah yang ditengarai dipalsukan. Untuk membuktikan ada dan tidaknya keterlibata gubernur dalam kasus itu harus dibuktikan secara hukum.
“Pernyataan gubernur itu adalah palsu, boleh. Tapi dalam hukum tidak bisa begitu saja, untuk membuktikan apakah tanda tangan itu palsu atau bukan harus melalui pembuktian hukum. Pak Gubernur Isran Noor harus memulainya dengan melaporkan pemalsuan tanda tanganya itu ke polisi, itu penting untuk membongkar siapa pelaku pemalsuan tanda tangan pejabat negara,” jelas mantan tenaga ahli Komisi I DPRD Kaltim ini.
Dampak pemalsuan IUP, negara dirugikan miliaran rupiah, karena perusahaan tidak membayar pajak, hingga kerusakan lingkungan akibat tidak melakukan pembayaran dana reklamasi dan jaminan kesungguhan pasca penambangan.
“21 IUP palsu ini sangat merugikan negara dan merusak lingkungan. Untuk menjaga wibawa pemerintah provinsi, gubernur perlu memberikan klarifikasi ke publik dan DPRD. Pemalsuan 21 IUP dari kacamata hukum tata negara bukan masalah politik, tapi murni kasus pidana,” pungkas mantan aktivis pada media ini Kamis (26/1/23). (AZ)